Missing
Kemarin, waktu matahari hampir tergelincir ke balik bukit, sayup-sayup aku mendengar suara teriakan sumbang yang tak lantang, seperti seseorang berteriak sambil mengunyah makanan. Sayupnya hilang dan timbul mengikuti gerakan angin. Iya, sore itu cukup berangin. Jika kau memakai dress shifon diatas lutut, rokmu pasti akan menjadi hiburan bagi para mata keranjang. Tapi suara sumbang itu kini semakin jelas, ya... Itu bukan teriakan biasa, itu tangisan yang bercampur kemarahan yang ditahan.
Sambil menyesap jahe hangatku, kulepaskan pandangan telisikku, barang kali aku menemukan sumber suara tangisan tadi. Namun sepanjang mata memandang aku masih belum menemukan dimana sumber suara yang telah berhasil merusak lamunan soreku itu. Jahe hangatku sudah habis, matahari sudah tak terlihat lagi, aku sudah tak mendengar lagi suara tangisan tadi. Embusan angin tak sabar merangsek kesela-sela cardigan woolku, partikel dingin yang berhasil menembus pakaianku langsung menyasar tulang belulang yang dibungkus kulit dan ototku yang tipis ini. Aku memutuskan masuk kedalam rumah kayu tempatku menginap malam itu. Ah barangkali orang itu -entah anak kecil, seorang gadis, atau perempuan dewasa- yang suaranya hilang-timbul tadi sudah pulang ke rumahnya. Akupun bergegas bersiap-siap untuk tidur, karena besoknya aku akan melihat matahari terbit dari bukit yang pemandangannya ke padang rumput lepas di satu sisi dan danau di sisi lainnya.
Pagi ini aku bangun dengan malas. Jam 4 pagi adalah rekor bangun pagiku sejak aku lulus dari kuliah. Setelah aku menikah, kemudian aku jadi pemalas. Jahe hangat dan beberapa potong roti bakar mengepul-epul asapnya seolah bangga karena tak terkalahkan oleh dinginnya suhu diluar rumah. Konyol sekali aku memikirkan perasaan jahe hangat dan roti bakar pikirku. Setelah kami semua melahap sumber energi kami pagi itu, kami semua bergegas untuk menaiki jip menuju bukit yang sempat ku ceritakan sebelumnya. Di perjalanan aku mendengar suara tangisan sumbang itu lagi, suaranya seperti sangat jauh, sambil menelisik barangkali ada pemukiman di dekat-dekat sini, tapi sejauh ku lemparkan pandangan, yang ada hanya padang rumput gelap dan bukit. "Barangkali pemukiman itu di balik bukit" pikirku.
Tibalah kami di parkiran, di tempat jip kami harus parkir. Ternyata, kita masih perlu berjalan sekitar 20-30 menit lagi menuju puncak bukit itu. Jalanan masih gelap. tapi jika kita tidak cepat, maka pemandangan yang kita tunggu akan terlewat begitu saja. Tanpa basa basi lagi kami langsung mendaki. Aku bersama suamiku, seorang supir, dan seorang pembimbing tur kami. Mereka penduduk asli daerah sini. Karena keterbatasan bahasa, kami pun berbicara secukupnya saja. Oh iya, orang tuaku, mereka tinggal di penginapan. Mereka terlalu lemah dan tua untuk melakukan kegiatan mendaki di gelapnya pagi. Mereka memilih menunggu cerita kami saat kami kembali daripada mengurangi jatah duduk-duduk santai mereka di pagi hari.
Udara yang dingin dan berkabut seperti membeku ketika masuk ke rongga hidungku. Aku juga hampir lupa kapan terakhir aku berolah raga, bahkan untuk sekedar berjalan santai. Kondisi ini membuatku betul-betul lelah dan kepalaku rasanya berputar. Ahh tapi 30 menit bukanlah waktu yang lama lagi pula aku sudah berjalan 25 menit. Sebentar lagi kita akan melihat mata hari terbit. Baiklah, tetap fokus dan jalan sedikit demi sedikit.
Kami telah berjalan 40 menit, lewat dari perkiraan karena ternyata memang aku yang melamban. Puncak bukit sudah terlihat, akupun memacu kekuatan yang tersisa. Dan sampailah kami di puncak itu. Yap, tepat saat matahari sedang melancarkan misi pagi harinya. Ia terbit.
Semburat mentari pagi itu beradu dengan gumpalan awan yang menjadikannya langit tampak seperti dianyam. Tapi kali ini kepalaku benar-benar pusing, pandanganku menjadi buram, menghitam, kembali buram, dan akupun terjatu. Dalam keadaan setengah sadar, bayang-bayang temaram lampu yang sangat tidak asing tapi tak mampu ku kenali muncul di pikiran. Peluh yang membasahi kepalaku pun seperti memberiku suatu isyarat. Kudengan jerit dan tangis yang gaib. Kulihat potongan perca biru lusuh, dan kucium samar-sama bau karbol yang bercampur amis. Dan sekarang, dalam gelapnya pandanganku. Aku ingat, sesuatu telah terjadi padaku. Sesuatu yang terlupakan beberapa waktu. Sesuatu yang harusnya membahagiakan. Dan akupun teringat, alasanaku menjadi pemalas selama ini adalah karena aku hamil.
Setelah ingatan-ingatan itu, aku tak ingat lagi apa yang terjadi padaku. Kini aku terbangun dan sekarang aku sudah berada di dalam jip kami. Saat mengingat itu lagi. Akupun terisak menangis, dan menahan jeritan. Kamu tahu? Suara isakanku terdengar seperti suara yang mengganggu, yang suaranya hilang-timbul sore kemarin.
Komentar
Posting Komentar