Been There
Berwisata virtual dengan membuka gambar-gambar sediaan dunia maya sedikit membayar rasa penasaran tentang bagaimana situasi tempat yang saat ini sedang bergentayangan di kepala. Aku coba mengetikan nama salah satu sekolah tempatku pernah belajar di sana. Sambil menunggu deretan gambar itu muncul, aku mencoba mengingat-ingat lagi suasana terakir, satu hari sebelum akhirnya aku benar-benar pindah dari sekolah itu.
Waktu itu hari sabtu, seragam kami coklat pramuka. Aku bersama bapak pergi kesekolah untuk mengurus kepindahanku. Aku tidak ikut belajar hari itu. Saat jam istirahat beberapa teman-teman mengerubungiku, mereka ingin tahu, kenapa aku tidak ikut belajar bersama mereka, dan apa yang sebenarnya sedang aku lakukan. Aku ingat, kami ngobrol sambil berjongkok di tengah lapangan upacara dan sambil mengorek-ngorek tanah berrumput tipis. Disitu aku jelaskan tentang rencana kepindahanku yang memang menjadi harus karena rumah keluarga kami akan pindah ke kota yang baru.
Suasana lapangan itu cukup panas tapi tidak terlalu terik. Tepat didepannya terdapat bangunan sekolah kami yang berbentuk angkare, tidak tingkat dan sangat sederhana. Di sebelah kanannya ada masjid yang berukuran besar, cukup untuk menampung masyarakat sekitar situ. Dan di belakangnya ada lapangan yang di salah satu pojoknya terdapat kantin, tempat kami biasa jajan. Iya seperti itu suasana satu hari terakhir sebelum kepindahanku.
Internet telah memunculkan beberapa gambar di layarku. Ternyata nama sekolahku kini sudah berubah, dulu nama sekolah itu menggunakan nama kecamatan, namun kini menggunakan nama kota madya. Awalnya aku agak ragu, karena bangunan yang dulu tampak sangat sederhana, kini terlihat lebih megah, tingkat dua. Masjid yang kuceritakan tadi pun lebih modern fasadnya. Tapi gedung sekolah itu tetap mempertahankan warna hijaunya, serta tata letak dan beberapa detail sekolah itu tetap pada tempatnya, aku menjadi yakin bahwa itu adalah sekolahku yang dulu.
Sambil kubuka bebrapa gambar yang muncul, sambil kuingat masa-masa dua tahunku belajar disana. Aku masuk sebagai siswa baru di kelas satu. Sebagai anak lulusan Raudatul Athfal (TK Islam) bapak sepertinya memang menginginkanku untuk melanjutkan belajar di sekolah Islam juga. Aku di terima di sana, di Madrasah Ibtidaiyah (SD Islam). Hari itu hari senin, pelajaran pertama di hari pertamaku adalah Aqidah Akhlak. Aku yang belum terbiasa mencatat banyak-banyak, diharuskan mencatat -sebagaimana anak yang lainnya- satu halaman buku penuh. Tanganku sudah berkeringat, panas, dan kaku. Tapi catatanku belum juga selesai. Jam pulang sekolah di hari pertama pun semakin dekat. Aku akhirnya menyelesaikan tugas mencatat itu tepat saat semua sedang membaca doa sepulang sekolah. Sungguh hari itu menjadi hari yang sangat berat dan melelahkan bagiku.
Aku juga ingat, waktu itu aku kelas dua. Aku termasuk anak yang tak pernah membanding-bandingkan nilai yang ku dapat dengan nilai teman-teman lainya. Bodo amat lah!. Yang ku tahu, selalu ada yang nilainya sama atau lebih bagus dariku dan banyak juga yang nilainya sangat jauh dibawah nilai-nialiku. Tapi aku saat itu lagi-lagi, memilih bodo amat!. Pernah suatu ketika sekolah memiliki rencana wisata edukasi di luar sekolah di hari rabu. Hari biasanya kami berseragam batik hijau. Tapi sialnya di hari selasa aku mendapatkan nilai 80 untuk 5 soal di pelajaran matematika. Ibuku di selasa sore yang tahu bahwa ada temanku yang mendapat nilai 100 menjadi murka dan melarangku mengikuti wisata edukasi esoknya. Sial! Tapi masih untung lah aku tidak dikutuk jadi batu. Dari sini akhirnya aku belajar, sebagai anak yang sulit berbohong dan suka bercerita, aku akan melapor semua kejadian jika rangkaian peristiwanya benar-benar sudah usai dan tidak cukup berpotensi terhadap kegiatan-kegiatan setelahnya. Seperti saat demo mahasiswa, jika aku minta ijin untuk demo, bisa-bisa aku di jemput pulang dari kampus. Maka aku memilih bercerita setelah selesai demo. Jadi ibu mau melarangpun tak punya lagi kuasa. Bu, you have to know, I’m a good learner.
Kutemuka satu foto perayaan kelulusan dan kenaikan kelas dengan wajah kepala sekolah yang tidak ku kenali. Foto Itu mengingatkanku pada kegiatan kenaikan kelas dari kelas dua ke kelas tigaku waktu itu. Perayaan kenaikan kelas tahun itu cukup berkesan bagiku, karena siswa kelas dua sudah dilibatkan dalam kegiatan pentas untuk merayakan kenaikan kelas kami, dan kuakui, perayaan kenaikan kelas tahun itu juga lebih meriah dari perayaan kenaikan kelas tahun sebelumnya. Dikegiatan itu setiap siswa mendapat tugas wajib untuk membawakan dakwah singkat, berpasangan untuk kelas rendah, dan sendiri-sendiri untuk kelas tinggi. Nama kami akan dipanggil bergiliran, dan kemudian kami harus naik ke atas panggung. Siapapun boleh menonton. Teman-teman, orang tua, masyarakat sekitar, bahkan tukang jualan yang datang jauh entah darimana pun boleh ikut menonton. Dan mereka juga diperkenankan untuk 'nyawer' kami-kami yang sedang naik pentas. Tepat didepan panggung tinggi itu digelar sebuah tempat khusus dan dipagari kain setinggi panggung yang di dalamnya sudah ada petugas pengumpul uang-uang saweran. Ibuku yang tak pernah punya tradisi nyawer, waktu itu semangat sekali nyawer, tak ketinggalan juga orang tua yang lainya. Tapi sampai saat ini akupun belum tahu, uang saweran itu kelak diberikan kepada siapa dan akan digunakan untuk apa, karena kami yang disawer tidak pernah dibagi uang sawerannya. Hahaha
Kubuka gambar dari google street. Kuamati bagunan sekolah itu saat ini, gambar itu menampakan fasad sekolah dan jajaran kelas yang dulu sempat aku tempati. Mulai dari yang paling kanan, itu kelas ku saat aku kelas satu, kemudian bergeser ke ruang guru, tapi ntah barang kali ruangan itu sekarang sudah berubah fungsi. Kemudian mataku lanjut menelusuri gang kecil menuju belakang sekolah, disebelahnya ada ruang kelas yang pernah aku tempati saat kelas dua. Dan akhirnya berujung di kelas paling kiri yang jadi kelasku saat aku kelas tiga. Aku pun teringat beberapa kejadian yang tak banyak saat aku di kelas tiga.
Naik ke kelas tiga, yang kuingat adalah berubahnya jadwal belajar secara drastis. Di kelas satu dan dua kami belajar setengah hari, jam 10 sudah pulang. Di kelas tiga kami belajar sampai jam 1. Aku tidak tahu apa yang teman-teman lain pikirkan. Tapi aku -yang menurut mereka gila belajar- merasa jadwal itu membuat kami menjadi semakin keren dan semakin seperti penguasa sekolah. Seragam kami pun mulai memakai setelan serba panjang (di kelas satu dan dua rok dan kemeja kami pendek). Di kelas tiga ini juga aku pernah sekali membuat onar mencoret-coret tempok sekolah. Dengan ballpoint hitam kugambar wajah manusia babi yang jadi andalanku sejak TK -bapak yang ajari aku. Akhirnya omelan guru yang saat itu kebetulan mengajar di kelasku tak lagi bisa dibendung. Aku sangat malu saat itu. Malu karena ketahuan berbuat vandal, dan juga karena semua jadi tahu bahwa gambar wajah manusia babi yang jelek itu adalah gambarku.
Ada lagi cerita memalukan saat aku buang air kecil di wc sekolah. Aku yang sudah tak tahan tepaksa menggunakan wc sekolah yang bau pesing. Aku mengajak salah seorang temanku untuk menemani sekaligus menjagaku dari luar wc. Wc itu tidak ku kunci. Entah mengapa aku merasa wc adalah tempat terangker di sekolah, maka dari itu kalau tiba-tiba aku perlu lari aku tak harus membuang waktu untuk membuka kunci. Tapi sial, temanku itu kembali kekelas lagi tanpa menungguku selesai. Saat aku sedang memakai celana dalamku, pintuku dibuka oleh seorang anak laki-laki. Aku teriak, jantungku berdetak tak beraturan, marah campur malu. Aku tidak ingat siapa dia, anak kelas berapa. Semoga dia tak melihat wajahku dan melupakan kejadian itu. Memalukan!
Kembali kuperhatika layarku. Foto-foto itu dicampur beberapa kenangan masa lalu nyatanya mampu mengaktifkan kelenjar air mata untuk melepas tampungannya. Kulihat-lihat lagi, barangkali ada wajah-wajah yang kukenali. Tapi kalaupun mereka ada disana sepertinya aku tak mampu mengenalinya. Itu sudah sangat lama. Ditambah di masa itu, sosial media belum semarak seperti saat ini, sehingga sangat minim jejak kenangan disana. Dua tahun tiga bulan adalah waktu yang -puas tidak puas- menjadi bagianku untuk mengukir jejak kehidupan disana. Masa awalku mengenal kompetisi, awal-awalku mulai mengagumi seorang guru, dan masa awalku merasa menjadi anak yang harus bertanggung jawab penuh atas hasil belajarnya ada di dua tahun tiga bulan itu.
Dua tahun tiga bulan adalah waktu yang membuatku tak pernah lulus dari sana.
Komentar
Posting Komentar